slide

Rabu, 08 Juni 2016

FIQIH TENTANG SIYASAH



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar  Belakang
                Kajian fiqih siyasah terus berkembang seiring perkembangan dunia politik yang semakin pesat dengan munculnya isu-isu politik mutakhir, seperti demokrasi, civil society, dan hak asasi manusia. Ditambah lagi dengan isu-isu pemikiran seperti sekularisme, liberalisme dan sosialisme yang mesti mendapat respon dari Islam. Perkembangan tersebut tentunya menghadirkan banyak pemahaman-pemahaman baru yang dikembangkan oleh para tokoh fiqih siyasah yang menciptakan sejumlah perbedaan pemikirinan tentang konsep fiqih siyasah dimaksud.
            Di kalangan umat islam ada yang berpendapat bahwa Islam adalah agama yang komprehensif. Di dalamnya terdapat sistem politik dan ketatanegaraan, sistem ekonomi, sistem sosial dan sebagainya. Misalnya Rasyid Ridha, Hasan Al-Banna dan Al-Maududi meyakini bahwa ”Islam adalah agama yang serba lengkap”. Di dalam ajarannya antara lain terdapat sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan barat. Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Besar  Muhammad SAW dan oleh empat Khulafa al-Rasyidin.
            Untuk melakukan kajian tentang fiqih Siyasah secara luas dan mendalam dalam hubungannya sebagai ilmu untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul seiring perkembangan zaman, tentunya harus memahami secara benar tentang konsep dasar fiqih siyasah dari berbagai sudut pandang. Oleh karena itu, penulis merasa penting mengangkat masalah kajian Fiqih Siyasah dalam sebuah makalah yang berjudul “fiqih syiasah ( politik dalam islam)”


B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat ditarik beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian fiqih siyasah ?
2.      Apa saja ruang lingkup fiqih siyasah ?
3.      Apa saja macam-macam fiqih syasah?
4.      Apa obyek kajian fiqih siyasah ?
5.      Apa metode kajian fiqih siyasah ?


 
BAB II 
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Fiqih Siyasah
Istilah fiqih siyasah merupakan tarkib idhafi atau kalimat majemuk yang terdiri dari dua kata, yakni fiqih dan siyasah. Secara etimologis, fiqih merupakan bentuk mashdar dari tashrifan kata faqiha-yafqahu-fiqihan yang berarti pemahaman yang mendalam dan akurat sehingga dapat memahami tujuan ucapan dan atau tindakan (tertentu). Sedangkan secara terminologis, fiqih lebih populer didefinisikan sebagai berikut: Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci.[1]
Adapun Al siyasah berasal dari kata سا س يسوس سياسة yang berarti mengatur, mengendalikan, mengurus, atau membuat keputusan. Secara terminologis, sebagaimana dikemukakan Ahmad Fathi Bahatsi, siyasah adalah pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan syara’.
Definisi lain ialah Ibn Qayyim dalam Ibn ‘Aqil menyatakan: "Siyasah adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan, sekalipun Rasulullah tidak menetapkannya dan bahkan Allah tidak menentukannya".[2]
Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa, fiqih siyasah adalah ilmu tata negara Islam yang secara spesifik membahas tentang seluk-beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan negara pada khususnya, berupa penetapan hukum, peraturan, dan kebijakan oleh pemegang kekuasaan yang bernafaskan atau sejalan dengan ajaran Islam, guna mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan menghindarkannya dari berbagai kemudaratan yang mungkin timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dijalaninya.
B.     Ruang Lingkup Fiqih Siyasah
Ruang lingkup fiqih siyasah dikelompokkan menjadi tiga bagian pokok yaitu :
1.      Politik perundang-undangan (siyasah dusturiyyah). Bagian ini meliputi pengkajian tentang penetapan perundang-undangan (tasriyyah) oleh lembaga legislative, peradilan (qadla’iyyah) oleh lembaga ludikatif, dan administrasi pemerintahan (‘idariyyah) oleh birokrasi atau eksekutif.[3]
2.      Politik luar negeri (siyasah dauliyyah). Bagian ini mencakup hubungan keperdataan antara wargahegara yang muslim dengan yang bukan muslim yang bukan warga Negara. Dibagian ini pula masalah politik peperangan (siyasah harbiyyah), yang mengatur etika berperang, dasar-dasar diizinkan berperang, tawanan perang, dan genjatan senjata.[4]
3.      Politik keuangan dan moneter (siyasah maliyyah), yang antara lain membahas sumber-sumber keuangan negara, pos-pos pengeluaran dan belanja negara, perdagangan internasional, kepentingan atau hak-hak publik, pajak dan perbankan.[5]

C.    Macam-macam Siyasah (Politik Islam)
Politik Islam secara umum terbagi menjadi tiga macam sebagai berikut;
1.      Siyasah Dusturiyah
          Siyasah Dusturiyah merupakan segala bentuk tata ukuran atau teori-teori tentang Politik Tata Negara dalam Islam atau yang membahas masalah perundang-undangan Negara agar sejalan dengan nilai-nilai syari’at. Artinya, undang-undang itu mengacu terhadap konstitusinya yang tercermin dalam prinsip-prinsip Islam dalam hukum-hukum syari’at yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi, baik mengenai akidah, ibadah, akhlak, muamalah maupun berbagai macam hubungan yang lain.
Prinsip-prinsip yang diletakkan dalam perumusan undang-undang dasar adalah jaminan atas hak asasi manusia setiap anggota masyarakat dan persamaan kedudukan semua orang di mata hukum, tanpa membeda-bedakan stratifikasi sosial, kekayaan, pendidikan dan agama. Sehingga tujuan dibuatnya peraturan perundang-undangan untuk merealisasikan kemaslahatan manusia dan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Sebagai suatu petunjuk bagi manusia, al-Qur’an menyediakan suatu dasar yang kukuh dan tidak berubah bagi semua prinsip-prinsip etik dan moral yang perlu bagi kehidupan ini. Menurut Muhammad Asad, al-Qur’an memberikan suatu jawaban komprehensif untuk persoalan tingkah laku yang baik bagi manusia sebagai anggota masyarakat dalam rangka menciptakan suatu kehidupan berimbang di dunia ini dengan tujuan terakhir kebahagiaan di akhirat. Ini berarti penerapan nilai-nilai universal al-Qur’an dan hadist adalah faktor penentu keselamatan umat manusia di bumi sampai di akhirat, seperti peraturan yang pernah diperaktekkan Rasulullah SAW dalam negara Islam pertama yang disebut dengan “Konstitusi Madinah” atau “Piagam Madinah”.
Setelah Nabi wafat, tidak ada konstitusi tertulis yang mengatur negara Islam, umat Islam dari zaman ke zaman, dalam menjalankan roda pemerintahan berpedoman kepada prinsip-prinsip al-Qur’an dan teladan Nabi dalam sunnahnya. Pada masa khalifah empat, teladan Nabi masih dapat diterapkan dalam mengatur masyarakat Islam yang sudah berkembang. Namun pasca khulafa’ ar-Rasidin tepatnya pada abad ke-19, setelah dunia Islam mengalami penjajahan barat, timbul pemikiran di kalangan ahli tata negara di berbagai dunia Islam untuk mengadakan konstitusi. Pemikiran ini timbul sebagai reaksi atas kemunduran umat Islam dan respon terhadap gagasan politik barat yang masuk di dunia Islam bersamaan dengan kolonialisme terhadap dunia Islam. Sebab salah satu aspek dari isi konstitusi atau Undang-Undang Dasar adalah bidang-bidang kekuasaan negara. Kekuasaan itu dikenal dengan istilah Majlis Syura atau “ ahl al-halli wa al-aqdi.
          Menurut Abdul Kadir Audah, kekuasaan dalam negara Islam itu dibagi ke dalam lima bidang, artinya ada lima kekuasaan dalam Negara Islam, yaitu: 1).Sulthah Tanfizhiyyah (kekuasaan penyelenggara undang-undang). 2). Sulthah Tashri’iyah (kekuasaan pembuat undang-undang). 3). Sulthah Qadhoiyah (kekuasaan kehakiman). 4). Sulthah Maliyah (kekuasaan keuangan). 5). Sulthah Muraqabah wa Taqwim (kekuasaan pengawasan masyarakat).
2.       Siyasah Dauliyah
          Syasah merupakan segala bentuk tata ukuran atau teori-teori tentang sistem hukum internasional dan hubungan antar bangsa.
          Pada awalnya Islam hanya memperkenalkan satu sistem kekuasaan politik negara yaitu kekuasaan di bawah risalah Nabi Muhammad Saw dan berkembang menjadi satu sistem khilafah atau kekhilafaan. Dalam sistem ini dunia internasional, dipisahkan dalam tiga kelompok kenegaraan, yaitu, pertama, negara Islam atau darussalam, yaitu negara yang ditegakkan atas dasar berlakunya syariat Islam dalam kehidupan. Kedua, darus-harbi, yaitu negara non Islam yang kehadirannya mengancam kekuasaan negara-negara Islam serta menganggap musuh terhadap warga negaranya yang menganut agama Islam. Ketiga, darus-sulh, yaitu negara non-Islam yang menjalin persahabatan dengan negara-negara Islam, yang eksistensinya melindungi warga negara yang menganut agama Islam.
Antara darus-salam dengan darus-sulh terdapat persepsi yang sama tentang batas kedualatannya, untuk saling menghormati dan bahkan menjalin kerja sama dengan dunia Internasional. Keduanya saling terikat oleh konvensi untuk tidak saling menyerang dan hidup bertetangga secara damai, sementara hubungan antara darus-salam dengan darus-harb selalu diwarnai oleh sejarah hitam. Masing-masing selalu memperhitungkan terjadi konflik, namun demikian Islam telah meletakkan dasar untuk tidak berada dalam posisi pemrakarsa meletusnya perang. Perang dalam hal ini merupakan letak mempertahankan diri atau sebagai tindakan balasan. Perang dalam rangka menghadapi serangan musuh di dalam Islam memperoleh pengakuan yang syah secara hukum, dan termasuk dalam ketegori jihad.
          Meskipun jihad dalam bentuk perang dibenarkan di dalam Islam, namun pembenaran tersebut sebatas di dalam mempertahankan diri atau tindakan balasan. Juga terbatas di dalam rangka menaklukkan lawan bukan untuk membinasakan dalam arti pembantaian atau pemusnahan. Oleh karena itu, mereka yang menyerah, tertawan, para wanita, orang tua dan anak-anak, orang-orang cacat, tempat-tempat ibadah, dan sarana serta prasarana ekonomi rakyat secara umum harus dilindungi.
Kekuasaan politik berikutnya mengalami perubahan tidak hanya mengakui satu sistem khilafah tetapi telah mengakui keragaman tentang khilafah. Selain itu juga memberi pengakuan atas otonomi negara-negara bagian kerajaan maupun kesultanan di Spanyol hingga Asia Tenggara.
Pada konteks sekarang teori politik Islam kontemporer hanya memperkenalkan konsepsi hukum internasional dalam dua bagian besar; pertama, al-Ahkam ad-Dauliyah al-Ammah; yaitu suatu hukum internasional yang menangani masalah-masalah makro. Kedua, al-Ahkam ad-Dauliyah al-Khosoh, yaitu suatu hukum internasional yang menangani masalah-masalah mikro. Menurut Ali Anwar sebagaimana dikutip Mustafa Anshori Liddinillah terdapat sembilan prinsip-prinsip politik luar negeri dalam siyasah dauliyah. Pertama, saling menghormati fakta-fakta dan traktat-traktat (perjanjian) (QS. Al-Anfal: 58, QS. At-Taubah: 47, QS. An-Nahl: 91, dan QS. Al-Isra’: 34). Kedua, kehormatan dan integrasi Nasional (QS. An-Nahl: 92). Ketiga, keadilan universal Internasional (QS. Al-Maidah: 8). Keempat, menjaga perdamaian abadi. Kelima, menjaga ketentraman negara-negara lain (QS. An-Nisa: 89-90). Keenam, Memberikan perlindungan dan dukungan kepada orang-orang Islam yang hidup di negara lain (QS. Al-Anfal: 72). Ketujuh, Bersahabat dengan kekuasaan-kekuasaan netral (QS. Al-Mumtahanah: 8-9). Kedelapan, Kehormatan dalam hubungan Internasional (QS. Ar-Rahman: 60). Kesembilan, Persamaan keadilan untuk para penyerang (QS. An-Nahl: 126).
3.       Siyasah Maaliyah
Politik yang mengatur sistem ekonomi dalam Islam. Dr. Abdurrahman al-Maliki menyatakan bahwa politik ekonomi Islam adalah sejumlah hukum (kebijakan) yang ditujukan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan primer setiap individu dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pelengkap (kebutuhan sekunder dan tersier) sesuai dengan kadar kemampuannya. Untuk itu, semua kebijakan ekonomi Islam harus diarahkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan asasi dan (jika memungkinkan) terpenuhinya kebutuhan pelengkap pada setiap orang (perindividu) yang hidup di dalam Negara Islam, sesuai dengan syariah Islam.
Dengan demikian, politik ekonomi Islam didasarkan pada empat pandangan dasar: 1). Setiap orang adalah individu yang membutuhkan pemenuhan atas kebutuhan-kebutuhannya. 2). Adanya jaminan bagi setiap individu yang hidup di dalam Daulah Islamiyah untuk memenuhi kebutuhan primernya. 3). Islam mendorong setiap orang untuk berusaha dan bekerja mencari rezeki agar mereka bisa mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup; alias bisa memasuki mekanisme pasar. 4). Negara menerapkan syariah Islam untuk mengatur seluruh interaksi di tengah-tengah masyarakat serta menjamin terwujudnya nilai-nilai keutamaan dan keluhuran dalam setiap interaksi, termasuk di dalamnya interaksi ekonomi.
Atas dasar itu, politik ekonomi Islam tidak sekadar diarahkan untuk meningkatnya pendapat nasional (GNP) atau disandarkan pada pertumbuhan ekonomi nasional, keadilan sosial, dan lain sebagainya. Politik ekonomi Islam terutama ditujukan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan primer secara menyeluruh bagi setiap orang yang hidup di Negara Islam. Atas dasar itu, persoalan ekonomi bukanlah bagaimana meningkatkan kuantitas produksi barang dan jasa, tetapi sampainya barang dan jasa itu kepada setiap orang (distribusi). Hanya saja, pertumbuhan ekonomi juga menjadi obyek yang diperhatikan dan hendak diselesaikan di dalam sistem ekonomi Islam. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa obyek persoalan ekonomi dalam sistem ekonomi Islam ada macam: (1) politik ekonomi; (2) pertumbuhan kekayaan. Menurut an-Nahbani dan al-Maliki, politik ekonomi Islam adalah jaminan atas pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (al-hajat al-asasiyah/basic needs) bagi setiap individu dan juga pemenuhan berbagai kebutuhan sekunder dan luks (al-hajat al-kamaliyah) sesuai kadar kemampuan individu bersangkutan yang hidup dalam masyarakat tertentu dengan kekhasan di dalamnya. Dengan demikian titik berat sasaran pemecahan permasalahan dalam ekonomi Islam terletak pada permasalahan individu manusia bukan pada tingkat kolektif (negara dan masyarakat).
Menurut al-Maliki, ada empat perkara yang menjadi asas politik ekonomi Islam. Pertama, setiap orang adalah individu yang memerlukan pemenuhan kebutuhan. Kedua, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok dilakukan secara menyeluruh (lengkap). Ketiga, mubah (boleh) hukumnya bagi individu mencari rezki (bekerja) dengan tujuan untuk memperoleh kekayaan dan meningkatkan kemakmuran hidupnya. Keempat, nilai-nilai luhur (syariat Islam) harus mendominasi (menjadi aturan yang diterapkan) seluruh interaksi yang melibatkan individu-individu di dalam masyarakat .
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa politik ekonomi kebijakan fiskal Islam adalah menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga negara (Muslim dan non Muslim/kafir dzimmi) dan mendorong mereka agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.

D.    Objek Kajian Fiqih Siyasah
Objek kajian fiqih siyasah meliputi aspek pengaturan hubungan antara warga negara dengan warga negara, hubungan antar warga negara dengan lembaga negara, dan hubungan antara lembaga negara dengan lembaga negara, baik hubungan yang bersifat intern suatu negara maupun hubungan yang bersifat ekstern antar negara, dalam berbagai bidang kehidupan. Dari pemahaman seperti itu, tampak bahwa kajian siyasah memusatkan perhatian pada aspek pengaturan. Penekanan demikian terlihat dari penjelasan T.M. Hasbi Ash Shiddieqy:  “Objek kajian siyasah adalah pekerjaan-pekerjaan mukallaf dan urusan-urusan mereka dari jurusan penadbirannya, dengan mengingat persesuaian penadbiran itu dengan jiwa  syariah, yang kita tidak peroleh dalilnya yang khusus dan tidak berlawanan dengan sesuatu nash dari nash-nash yang merupakan syariah ‘amah yang tetap”.[6]
Hal yang sama ditemukan pula pada pernyataan Abul Wahhab Khallaf:
“Objek pembahasan ilmu siyasah adalah pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal kenegaraan dari segi persesuaiannya dengan pokok-pokok agama dan merupakan realisasi  kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhannya”.
Secara garis besar maka, objeknya menjadi peraturan dan perundang-undangan, pengorganisasian dan pengaturan kemaslahatan, dan hubungan antar penguasa dan rakyat serta hak dan kewajiban masing-masing dalam mencapai tujuan negara.[7]
            Suyuti Pulungan , menampilkan beberapa pendapat ulama tentang obyek kajian fiqih siyasah yang berbeda-beda, lalu menyimpulkan bahwa objek kajiannya adalah :
1.      Peraturan dan perundang-undangan negara sebagai pedoman dan landasan idiil dalam mewujudkan kemaslahatan umat.
2.      Pengorganisasian dan pengaturan kemaslahatan.
3.      Mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak dan kewajiban masing-masing dalam usaha mencapai tujuan negara.[8]


E.     Metode Kajian Fiqih Siyasah
Metode yang digunakan dalam membahas fiqih siyasah tidak berbeda dengan metode yang digunakan dalam membahas fiqih lain, dalam fiqih siyasah juga menggunakan ilmu ushul fiqih dan qowaid fiqih. Dibandingkan dengan fiqih-fiqih yang disebutkan, penggunaan metode ini dalam fiqih siyasah terasa lebih penting. Alasannya, masalah siyasah tidak  diatur secara terperinci oleh syari’at Al-Qur’an dan Al-Hadits.[9]
Secara umum, dalam fiqih siyasah, digunakan metode-metode seperti:
1.      Al-Qiyas
Al- Qiyas dalam fiqih syasah, digunakan untuk mencari ilat hukum. Dengan penggunaan Al-Qiyas, hukum dari sesuatu masalah, dapat diterapkan pada masalah yang lain pada masa dan tempat yang berbeda, jika masalah-masalah yang disebutkan terakhir mempunyai ilat hukum yang sama dengan masalah yang disebutkan pertama.
Penggunaan al-Qiyas sangat bermanfaat, terutama dalam memecahkan masalah-masalah baru. Akan tetapi kenyataanya, tidak semua masalah baru dapat dipecahkan dengan penggunaan Al-Qiyas. Dalam keadaan demikian, digunakan metode lainnya.
2.      Al-Mashalahah al-Mursalah
Pada umumnya Al-Mashalahah al-Mursalah digunakaan dalam mengatur dan mengendalikan persoaln-persoalan yang tidak diatur oleh syari’at Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, penarapan al-Mashlahah al-Mursalaah  harus didasarkan pada hasil penelitian yang cermat dan akurat juga dalam kepustakaan fiqih, dikenal dengan istilah istqra’. Tanpa penelitian seperti itu, penggunaan al-Mashlahah al-Mursalah  tidak  akan menimbulkan kemaslahatan, tetapi justru sebailiknya mengakibatkan kemafsadatan.


3.      Sadd al-Dzariah dan Fath al- Dzari’ah
Dalam fiqih siyasah sad al-Dzariah digunakan sebagai upaya pengendalian masyarakat untuk menghindari kenafsadzataan. Dan Fath al- Dzari’ah digunakan sebagai upaya perekayasaan masyarakat untuk mencapai kemaslahatan.
4.      Al-‘Adah.
Metode ketiga yang banyak digunakan dalam fiqih siyasah adalah al-‘adah. Adah ini ada dua macam, yaitu : al-adah ash shohihah dan al-‘addah al-fasidah. Al-‘adah ash sohihah yaitu adat yang tidak menyalahi Syara’, sedangkan al-‘adah al-fasidah yaitu adat yang bertentangan dengan syara’.
5.      Al-Istihsan
Sering diartikan perubahan dalil yang dipakai seorang mujtahid. Dalam hubunga itu dalil yang satu ke dalil yang lain yang menurutnya lebih kuat. Menurut ‘Ibn ‘Arabiy: “melaksanakan dalil yang kuat diantara dua dalil”.
6.      Kaidah-kaidah Kulliyah Fiqihiyah.
Kaidah ini sebagai teori ulama banyak digunakan untuk melihat ketepatan pelaksanaan fiqih siyasah. Kaidah-kaidah ini bersifat umum. Oleh karena itu dalam penggunaannya perlu memperhatikan kekecualian-kekecualian dan syarat-syarat tertentu.[10]

 
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Fiqih siyasah adalah ilmu tata negara Islam yang secara spesifik membahas tentang seluk-beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan negara pada khususnya, berupa penetapan hukum, peraturan, dan kebijakan oleh pemegang kekuasaan yang bernafaskan atau sejalan dengan ajaran Islam, guna mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan menghindarkannya dari berbagai kemudaratan yang mungkin timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dijalaninya.
Ruang lingkup fiqih siyasah ada tiga yaitu:
1.      Politik perundang-undangan (siyasah dusturiyyah).
2.      Politik luar negeri (siyasah dauliyyah).
3.      Politik keuangan dan moneter (siyasah maliyyah).
Macam-macam fiqih siyasah
1.      Siyasah Dusturiyah
2.      Siyasah Dauliyah
3.      Siyasah Maaliyah
Dalam  penentuan objek kajian Fiqih siyasah terdapat beberapa khilafiah namun dari beberapa khilafiah itu dapat ditarik kesimpulan objek kajiannya ada tiga yaitu:
1.      Peraturan dan perundang-undangan negara sebagai pedoman dan landasan idiil dalam mewujudkan kemaslahatan umat.
2.      Pengorganisasian dan pengaturan kemaslahatan.
3.      Mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak dan kewajiban masing-masing dalam usaha mencapai tujuan negara.
Metode kajian fiqih siyasah yaitu meliputi:
1.      Al-Qiyas
2.      Al-Mashalahah al-Mursalah.
3.      Sadd al-Dzariah dan Fath al- Dzari’ah
4.      Al-‘Adah
5.      Al-Istihsan
6.      Kaidah-kaidah Kulliyah Fiqihiyah



[1] Wahbah al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-islami, Damaskus: Daral-Fikr, 2001, hlm.18.
[2]  H. A. Djazuli, Fiqh Siyâsah, Jakarta: Kencana, 2007, hlm28.
[3] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007, hlm. 13.
[4] Ibid, hlm. 14
[5] H. A. Djazuli, Opcit, hlm. 31
[6] T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Asas-asas Hukum Tata Negara Menurut Syariah Islam, Yogyakarta : Matahari Masa, 1969, hlm.3
7  Abd Wahab al-Khalaf, Al-siyasah Wa Al-syariah, Kairo : Dar al-Ansr,1977, hlm.5
[8]  J.Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, Jakarta : Rajawali, 1994, hlm.28
[9]  H. A. Djazuli, Op. Cit. Hlm. 32
[10] Ibid, hlm.32-36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar