BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kajian fiqih siyasah terus berkembang seiring perkembangan dunia politik
yang semakin pesat dengan munculnya isu-isu politik mutakhir, seperti
demokrasi, civil society, dan hak asasi manusia. Ditambah lagi dengan isu-isu
pemikiran seperti sekularisme, liberalisme dan sosialisme yang mesti mendapat
respon dari Islam. Perkembangan tersebut tentunya menghadirkan banyak
pemahaman-pemahaman baru yang dikembangkan oleh para tokoh fiqih siyasah yang
menciptakan sejumlah perbedaan pemikirinan tentang konsep fiqih siyasah
dimaksud.
Di kalangan umat islam ada yang berpendapat bahwa
Islam adalah agama yang komprehensif. Di dalamnya terdapat sistem politik dan
ketatanegaraan, sistem ekonomi, sistem sosial dan sebagainya. Misalnya Rasyid
Ridha, Hasan Al-Banna dan Al-Maududi meyakini bahwa ”Islam adalah agama yang
serba lengkap”. Di dalam ajarannya antara lain terdapat sistem ketatanegaraan atau
politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada
sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem
ketatanegaraan barat. Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus
diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi
Besar Muhammad SAW dan oleh empat Khulafa al-Rasyidin.
Untuk melakukan kajian tentang fiqih Siyasah secara luas dan mendalam dalam
hubungannya sebagai ilmu untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul
seiring perkembangan zaman, tentunya harus memahami secara benar tentang konsep
dasar fiqih siyasah dari berbagai sudut pandang. Oleh karena itu, penulis merasa
penting mengangkat masalah kajian Fiqih Siyasah dalam sebuah makalah yang
berjudul “fiqih syiasah ( politik dalam islam)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat ditarik beberapa
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa
pengertian fiqih siyasah ?
2. Apa saja
ruang lingkup fiqih siyasah ?
3. Apa saja
macam-macam fiqih syasah?
4. Apa
obyek kajian fiqih siyasah ?
5. Apa
metode kajian fiqih siyasah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Fiqih Siyasah
Istilah fiqih siyasah merupakan tarkib idhafi atau
kalimat majemuk yang terdiri dari dua kata, yakni fiqih dan siyasah.
Secara etimologis, fiqih merupakan bentuk mashdar dari tashrifan kata faqiha-yafqahu-fiqihan
yang berarti pemahaman yang mendalam dan akurat sehingga dapat memahami
tujuan ucapan dan atau tindakan (tertentu). Sedangkan secara terminologis, fiqih
lebih populer didefinisikan sebagai berikut: Ilmu tentang hukum-hukum syara’
yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci.[1]
Adapun
Al siyasah berasal dari kata سا س يسوس سياسة yang
berarti mengatur, mengendalikan, mengurus, atau membuat keputusan. Secara
terminologis, sebagaimana dikemukakan Ahmad Fathi Bahatsi, siyasah adalah
pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan syara’.
Definisi
lain ialah Ibn Qayyim dalam Ibn ‘Aqil menyatakan: "Siyasah adalah
segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih
jauh dari kemafsadatan, sekalipun Rasulullah tidak menetapkannya dan bahkan
Allah tidak menentukannya".[2]
Berdasarkan
pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa, fiqih siyasah adalah
ilmu tata negara Islam yang secara spesifik membahas tentang seluk-beluk
pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan negara pada khususnya,
berupa penetapan hukum, peraturan, dan kebijakan oleh pemegang kekuasaan yang
bernafaskan atau sejalan dengan ajaran Islam, guna mewujudkan kemaslahatan bagi
manusia dan menghindarkannya dari berbagai kemudaratan yang mungkin timbul
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dijalaninya.
B.
Ruang Lingkup Fiqih Siyasah
Ruang
lingkup fiqih siyasah dikelompokkan menjadi tiga bagian pokok yaitu :
1. Politik
perundang-undangan (siyasah dusturiyyah). Bagian ini meliputi pengkajian
tentang penetapan perundang-undangan (tasriyyah) oleh lembaga
legislative, peradilan (qadla’iyyah) oleh lembaga ludikatif, dan
administrasi pemerintahan (‘idariyyah) oleh birokrasi atau eksekutif.[3]
2. Politik
luar negeri (siyasah dauliyyah). Bagian ini mencakup hubungan
keperdataan antara wargahegara yang muslim dengan yang bukan muslim yang bukan
warga Negara. Dibagian ini pula masalah politik peperangan (siyasah
harbiyyah), yang mengatur etika berperang, dasar-dasar diizinkan berperang,
tawanan perang, dan genjatan senjata.[4]
3. Politik
keuangan dan moneter (siyasah maliyyah), yang antara lain membahas
sumber-sumber keuangan negara, pos-pos pengeluaran dan belanja negara,
perdagangan internasional, kepentingan atau hak-hak publik, pajak dan
perbankan.[5]
C.
Macam-macam Siyasah (Politik
Islam)
Politik
Islam secara umum terbagi menjadi tiga macam sebagai berikut;
1. Siyasah
Dusturiyah
Siyasah
Dusturiyah merupakan segala bentuk tata ukuran atau teori-teori tentang Politik
Tata Negara dalam Islam atau yang membahas masalah perundang-undangan Negara
agar sejalan dengan nilai-nilai syari’at. Artinya, undang-undang itu mengacu
terhadap konstitusinya yang tercermin dalam prinsip-prinsip Islam dalam
hukum-hukum syari’at yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi, baik
mengenai akidah, ibadah, akhlak, muamalah maupun berbagai macam hubungan yang
lain.
Prinsip-prinsip yang diletakkan dalam perumusan
undang-undang dasar adalah jaminan atas hak asasi manusia setiap anggota
masyarakat dan persamaan kedudukan semua orang di mata hukum, tanpa
membeda-bedakan stratifikasi sosial, kekayaan, pendidikan dan agama. Sehingga
tujuan dibuatnya peraturan perundang-undangan untuk merealisasikan kemaslahatan
manusia dan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Sebagai
suatu petunjuk bagi manusia, al-Qur’an menyediakan suatu dasar yang kukuh dan
tidak berubah bagi semua prinsip-prinsip etik dan moral yang perlu bagi
kehidupan ini. Menurut Muhammad Asad, al-Qur’an memberikan suatu jawaban
komprehensif untuk persoalan tingkah laku yang baik bagi manusia sebagai
anggota masyarakat dalam rangka menciptakan suatu kehidupan berimbang di dunia
ini dengan tujuan terakhir kebahagiaan di akhirat. Ini berarti penerapan
nilai-nilai universal al-Qur’an dan hadist adalah faktor penentu keselamatan
umat manusia di bumi sampai di akhirat, seperti peraturan yang pernah
diperaktekkan Rasulullah SAW dalam negara Islam pertama yang disebut dengan
“Konstitusi Madinah” atau “Piagam Madinah”.
Setelah
Nabi wafat, tidak ada konstitusi tertulis yang mengatur negara Islam, umat
Islam dari zaman ke zaman, dalam menjalankan roda pemerintahan berpedoman kepada
prinsip-prinsip al-Qur’an dan teladan Nabi dalam sunnahnya. Pada masa khalifah
empat, teladan Nabi masih dapat diterapkan dalam mengatur masyarakat Islam yang
sudah berkembang. Namun pasca khulafa’ ar-Rasidin tepatnya pada abad ke-19,
setelah dunia Islam mengalami penjajahan barat, timbul pemikiran di kalangan
ahli tata negara di berbagai dunia Islam untuk mengadakan konstitusi. Pemikiran
ini timbul sebagai reaksi atas kemunduran umat Islam dan respon terhadap
gagasan politik barat yang masuk di dunia Islam bersamaan dengan kolonialisme
terhadap dunia Islam. Sebab salah satu aspek dari isi konstitusi atau
Undang-Undang Dasar adalah bidang-bidang kekuasaan negara. Kekuasaan itu
dikenal dengan istilah Majlis Syura atau “ ahl al-halli wa al-aqdi.
Menurut Abdul Kadir Audah, kekuasaan
dalam negara Islam itu dibagi ke dalam lima bidang, artinya ada lima kekuasaan
dalam Negara Islam, yaitu: 1).Sulthah Tanfizhiyyah (kekuasaan penyelenggara
undang-undang). 2). Sulthah Tashri’iyah (kekuasaan pembuat undang-undang). 3).
Sulthah Qadhoiyah (kekuasaan kehakiman). 4). Sulthah Maliyah (kekuasaan
keuangan). 5). Sulthah Muraqabah wa Taqwim (kekuasaan pengawasan masyarakat).
2. Siyasah Dauliyah
Syasah merupakan
segala bentuk tata ukuran atau teori-teori tentang sistem hukum internasional
dan hubungan antar bangsa.
Pada awalnya Islam hanya
memperkenalkan satu sistem kekuasaan politik negara yaitu kekuasaan di bawah
risalah Nabi Muhammad Saw dan berkembang menjadi satu sistem khilafah atau
kekhilafaan. Dalam sistem ini dunia internasional, dipisahkan dalam tiga
kelompok kenegaraan, yaitu, pertama, negara Islam atau darussalam, yaitu negara
yang ditegakkan atas dasar berlakunya syariat Islam dalam kehidupan. Kedua,
darus-harbi, yaitu negara non Islam yang kehadirannya mengancam kekuasaan
negara-negara Islam serta menganggap musuh terhadap warga negaranya yang
menganut agama Islam. Ketiga, darus-sulh, yaitu negara non-Islam yang menjalin
persahabatan dengan negara-negara Islam, yang eksistensinya melindungi warga
negara yang menganut agama Islam.
Antara
darus-salam dengan darus-sulh terdapat persepsi yang sama tentang batas
kedualatannya, untuk saling menghormati dan bahkan menjalin kerja sama dengan
dunia Internasional. Keduanya saling terikat oleh konvensi untuk tidak saling
menyerang dan hidup bertetangga secara damai, sementara hubungan antara
darus-salam dengan darus-harb selalu diwarnai oleh sejarah hitam. Masing-masing
selalu memperhitungkan terjadi konflik, namun demikian Islam telah meletakkan
dasar untuk tidak berada dalam posisi pemrakarsa meletusnya perang. Perang
dalam hal ini merupakan letak mempertahankan diri atau sebagai tindakan
balasan. Perang dalam rangka menghadapi serangan musuh di dalam Islam
memperoleh pengakuan yang syah secara hukum, dan termasuk dalam ketegori jihad.
Meskipun jihad dalam bentuk perang
dibenarkan di dalam Islam, namun pembenaran tersebut sebatas di dalam
mempertahankan diri atau tindakan balasan. Juga terbatas di dalam rangka
menaklukkan lawan bukan untuk membinasakan dalam arti pembantaian atau
pemusnahan. Oleh karena itu, mereka yang menyerah, tertawan, para wanita, orang
tua dan anak-anak, orang-orang cacat, tempat-tempat ibadah, dan sarana serta
prasarana ekonomi rakyat secara umum harus dilindungi.
Kekuasaan
politik berikutnya mengalami perubahan tidak hanya mengakui satu sistem
khilafah tetapi telah mengakui keragaman tentang khilafah. Selain itu juga
memberi pengakuan atas otonomi negara-negara bagian kerajaan maupun kesultanan
di Spanyol hingga Asia Tenggara.
Pada
konteks sekarang teori politik Islam kontemporer hanya memperkenalkan konsepsi
hukum internasional dalam dua bagian besar; pertama, al-Ahkam ad-Dauliyah
al-Ammah; yaitu suatu hukum internasional yang menangani masalah-masalah makro.
Kedua, al-Ahkam ad-Dauliyah al-Khosoh, yaitu suatu hukum internasional yang
menangani masalah-masalah mikro. Menurut Ali Anwar sebagaimana dikutip Mustafa
Anshori Liddinillah terdapat sembilan prinsip-prinsip politik luar negeri dalam
siyasah dauliyah. Pertama, saling menghormati fakta-fakta dan traktat-traktat
(perjanjian) (QS. Al-Anfal: 58, QS. At-Taubah: 47, QS. An-Nahl: 91, dan QS.
Al-Isra’: 34). Kedua, kehormatan dan integrasi Nasional (QS. An-Nahl: 92).
Ketiga, keadilan universal Internasional (QS. Al-Maidah: 8). Keempat, menjaga
perdamaian abadi. Kelima, menjaga ketentraman negara-negara lain (QS. An-Nisa:
89-90). Keenam, Memberikan perlindungan dan dukungan kepada orang-orang Islam
yang hidup di negara lain (QS. Al-Anfal: 72). Ketujuh, Bersahabat dengan
kekuasaan-kekuasaan netral (QS. Al-Mumtahanah: 8-9). Kedelapan, Kehormatan
dalam hubungan Internasional (QS. Ar-Rahman: 60). Kesembilan, Persamaan
keadilan untuk para penyerang (QS. An-Nahl: 126).
3. Siyasah Maaliyah
Politik yang mengatur sistem ekonomi dalam Islam. Dr.
Abdurrahman al-Maliki menyatakan bahwa politik ekonomi Islam adalah sejumlah
hukum (kebijakan) yang ditujukan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan primer
setiap individu dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pelengkap (kebutuhan
sekunder dan tersier) sesuai dengan kadar kemampuannya. Untuk itu, semua
kebijakan ekonomi Islam harus diarahkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan
asasi dan (jika memungkinkan) terpenuhinya kebutuhan pelengkap pada setiap
orang (perindividu) yang hidup di dalam Negara Islam, sesuai dengan syariah
Islam.
Dengan
demikian, politik ekonomi Islam didasarkan pada empat pandangan dasar: 1).
Setiap orang adalah individu yang membutuhkan pemenuhan atas
kebutuhan-kebutuhannya. 2). Adanya jaminan bagi setiap individu yang hidup di
dalam Daulah Islamiyah untuk memenuhi kebutuhan primernya. 3). Islam mendorong
setiap orang untuk berusaha dan bekerja mencari rezeki agar mereka bisa
mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup; alias bisa memasuki mekanisme
pasar. 4). Negara menerapkan syariah Islam untuk mengatur seluruh interaksi di
tengah-tengah masyarakat serta menjamin terwujudnya nilai-nilai keutamaan dan
keluhuran dalam setiap interaksi, termasuk di dalamnya interaksi ekonomi.
Atas
dasar itu, politik ekonomi Islam tidak sekadar diarahkan untuk meningkatnya
pendapat nasional (GNP) atau disandarkan pada pertumbuhan ekonomi nasional,
keadilan sosial, dan lain sebagainya. Politik ekonomi Islam terutama ditujukan
untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan primer secara menyeluruh bagi setiap
orang yang hidup di Negara Islam. Atas dasar itu, persoalan ekonomi bukanlah
bagaimana meningkatkan kuantitas produksi barang dan jasa, tetapi sampainya
barang dan jasa itu kepada setiap orang (distribusi). Hanya saja, pertumbuhan
ekonomi juga menjadi obyek yang diperhatikan dan hendak diselesaikan di dalam
sistem ekonomi Islam. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa obyek persoalan ekonomi
dalam sistem ekonomi Islam ada macam: (1) politik ekonomi; (2) pertumbuhan
kekayaan. Menurut an-Nahbani dan al-Maliki, politik ekonomi Islam adalah jaminan
atas pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (al-hajat al-asasiyah/basic needs) bagi
setiap individu dan juga pemenuhan berbagai kebutuhan sekunder dan luks (al-hajat al-kamaliyah) sesuai kadar
kemampuan individu bersangkutan yang hidup dalam masyarakat tertentu dengan
kekhasan di dalamnya. Dengan demikian titik berat sasaran pemecahan
permasalahan dalam ekonomi Islam terletak pada permasalahan individu manusia
bukan pada tingkat kolektif (negara dan masyarakat).
Menurut
al-Maliki, ada empat perkara yang menjadi asas politik ekonomi Islam. Pertama,
setiap orang adalah individu yang memerlukan pemenuhan kebutuhan. Kedua,
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok dilakukan secara menyeluruh (lengkap).
Ketiga, mubah (boleh) hukumnya bagi individu mencari rezki (bekerja) dengan
tujuan untuk memperoleh kekayaan dan meningkatkan kemakmuran hidupnya. Keempat,
nilai-nilai luhur (syariat Islam) harus mendominasi (menjadi aturan yang
diterapkan) seluruh interaksi yang melibatkan individu-individu di dalam
masyarakat .
Berdasarkan
uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa politik ekonomi kebijakan fiskal Islam
adalah menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga negara (Muslim dan non
Muslim/kafir dzimmi) dan mendorong mereka agar dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kemampuan yang mereka
miliki.
D.
Objek Kajian Fiqih Siyasah
Objek kajian fiqih siyasah meliputi aspek pengaturan
hubungan antara warga negara dengan warga negara, hubungan antar warga negara
dengan lembaga negara, dan hubungan antara lembaga negara dengan lembaga
negara, baik hubungan yang bersifat intern suatu negara maupun hubungan yang bersifat
ekstern antar negara, dalam berbagai bidang kehidupan. Dari pemahaman seperti
itu, tampak bahwa kajian siyasah memusatkan perhatian pada aspek
pengaturan. Penekanan demikian terlihat dari penjelasan T.M. Hasbi Ash
Shiddieqy: “Objek kajian siyasah adalah
pekerjaan-pekerjaan mukallaf dan urusan-urusan mereka dari jurusan penadbirannya,
dengan mengingat persesuaian penadbiran itu dengan jiwa syariah,
yang kita tidak peroleh dalilnya yang khusus dan tidak berlawanan dengan
sesuatu nash dari nash-nash yang merupakan syariah ‘amah yang tetap”.[6]
Hal yang sama ditemukan pula
pada pernyataan Abul Wahhab Khallaf:
“Objek pembahasan ilmu siyasah adalah pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal kenegaraan dari segi persesuaiannya dengan pokok-pokok agama dan merupakan realisasi kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhannya”.
“Objek pembahasan ilmu siyasah adalah pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal kenegaraan dari segi persesuaiannya dengan pokok-pokok agama dan merupakan realisasi kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhannya”.
Secara garis
besar maka, objeknya menjadi peraturan dan perundang-undangan, pengorganisasian
dan pengaturan kemaslahatan, dan hubungan antar penguasa dan rakyat serta hak
dan kewajiban masing-masing dalam mencapai tujuan negara.[7]
Suyuti Pulungan , menampilkan beberapa pendapat ulama
tentang obyek kajian fiqih siyasah yang berbeda-beda, lalu menyimpulkan
bahwa objek kajiannya adalah :
1. Peraturan
dan perundang-undangan negara sebagai pedoman dan landasan idiil dalam
mewujudkan kemaslahatan umat.
2. Pengorganisasian
dan pengaturan kemaslahatan.
3. Mengatur
hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak dan kewajiban masing-masing dalam
usaha mencapai tujuan negara.[8]
E.
Metode Kajian Fiqih
Siyasah
Metode yang digunakan dalam membahas fiqih siyasah
tidak berbeda dengan metode yang digunakan dalam membahas fiqih lain,
dalam fiqih siyasah juga menggunakan ilmu ushul fiqih dan qowaid
fiqih. Dibandingkan dengan fiqih-fiqih yang disebutkan, penggunaan metode
ini dalam fiqih siyasah terasa lebih penting. Alasannya, masalah siyasah
tidak diatur secara terperinci oleh
syari’at Al-Qur’an dan Al-Hadits.[9]
Secara umum, dalam fiqih siyasah, digunakan metode-metode
seperti:
1.
Al-Qiyas
Al- Qiyas dalam fiqih syasah, digunakan
untuk mencari ilat hukum. Dengan penggunaan Al-Qiyas, hukum dari sesuatu
masalah, dapat diterapkan pada masalah yang lain pada masa dan tempat yang
berbeda, jika masalah-masalah yang disebutkan terakhir mempunyai ilat hukum
yang sama dengan masalah yang disebutkan pertama.
Penggunaan al-Qiyas
sangat bermanfaat, terutama dalam memecahkan masalah-masalah baru. Akan tetapi
kenyataanya, tidak semua masalah baru dapat dipecahkan dengan penggunaan Al-Qiyas.
Dalam keadaan demikian, digunakan metode lainnya.
2.
Al-Mashalahah al-Mursalah
Pada
umumnya Al-Mashalahah al-Mursalah digunakaan dalam mengatur dan
mengendalikan persoaln-persoalan yang tidak diatur oleh syari’at Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Oleh karena itu, penarapan al-Mashlahah al-Mursalaah harus didasarkan pada hasil penelitian yang
cermat dan akurat juga dalam kepustakaan fiqih, dikenal dengan istilah istqra’.
Tanpa penelitian seperti itu, penggunaan al-Mashlahah al-Mursalah tidak
akan menimbulkan kemaslahatan, tetapi justru sebailiknya mengakibatkan
kemafsadatan.
3.
Sadd al-Dzariah dan Fath al-
Dzari’ah
Dalam fiqih siyasah sad
al-Dzariah digunakan sebagai upaya pengendalian masyarakat untuk
menghindari kenafsadzataan. Dan Fath al- Dzari’ah digunakan sebagai
upaya perekayasaan masyarakat untuk mencapai kemaslahatan.
4.
Al-‘Adah.
Metode ketiga yang banyak
digunakan dalam fiqih siyasah adalah al-‘adah. Adah ini ada dua
macam, yaitu : al-adah ash shohihah dan al-‘addah al-fasidah.
Al-‘adah ash sohihah yaitu adat yang tidak menyalahi Syara’, sedangkan
al-‘adah al-fasidah yaitu adat yang bertentangan dengan syara’.
5.
Al-Istihsan
Sering diartikan perubahan
dalil yang dipakai seorang mujtahid. Dalam hubunga itu dalil yang satu ke dalil
yang lain yang menurutnya lebih kuat. Menurut ‘Ibn ‘Arabiy: “melaksanakan dalil
yang kuat diantara dua dalil”.
6. Kaidah-kaidah
Kulliyah Fiqihiyah.
Kaidah ini sebagai teori
ulama banyak digunakan untuk melihat ketepatan pelaksanaan fiqih siyasah. Kaidah-kaidah
ini bersifat umum. Oleh karena itu dalam penggunaannya perlu memperhatikan
kekecualian-kekecualian dan syarat-syarat tertentu.[10]
BAB
III
KESIMPULAN
DAN PENUTUP
Fiqih
siyasah adalah
ilmu tata negara Islam yang secara spesifik membahas tentang seluk-beluk
pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan negara pada khususnya,
berupa penetapan hukum, peraturan, dan kebijakan oleh pemegang kekuasaan yang
bernafaskan atau sejalan dengan ajaran Islam, guna mewujudkan kemaslahatan bagi
manusia dan menghindarkannya dari berbagai kemudaratan yang mungkin timbul
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dijalaninya.
Ruang lingkup fiqih
siyasah ada tiga yaitu:
1. Politik perundang-undangan (siyasah
dusturiyyah).
2. Politik luar negeri (siyasah dauliyyah).
3. Politik keuangan dan moneter (siyasah
maliyyah).
Macam-macam fiqih siyasah
1. Siyasah
Dusturiyah
2. Siyasah
Dauliyah
3. Siyasah
Maaliyah
Dalam penentuan objek kajian Fiqih siyasah terdapat
beberapa khilafiah namun dari beberapa khilafiah itu dapat ditarik kesimpulan
objek kajiannya ada tiga yaitu:
1.
Peraturan dan perundang-undangan negara sebagai pedoman dan
landasan idiil dalam mewujudkan kemaslahatan umat.
2.
Pengorganisasian dan pengaturan kemaslahatan.
3.
Mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak dan
kewajiban masing-masing dalam usaha mencapai tujuan negara.
Metode
kajian fiqih siyasah yaitu meliputi:
1.
Al-Qiyas
2.
Al-Mashalahah al-Mursalah.
3.
Sadd al-Dzariah dan Fath al- Dzari’ah
4.
Al-‘Adah
5.
Al-Istihsan
6.
Kaidah-kaidah Kulliyah Fiqihiyah
[6]
T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Asas-asas Hukum
Tata Negara Menurut Syariah Islam, Yogyakarta : Matahari Masa, 1969, hlm.3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar